Senin, 25 Juni 2012

Polemik Kompetensi Keseshatan Masyarakat

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, atau boleh dikatakan bahwa kesehatan adalah modal kesejahteraan manusia. Untuk mencapai manusia yang sehat tentunya upaya yang harus kita lakukan adalah dengan melakukan apaya promotif dan preventif, tetapi tidak mengesampingkan juga yang namanya kuratif dan rehabilitatif. Modal terpenting yang harus dimiliki adalah dengan melakukan upaya promotif dan preventif. Dan sosok yang disiplin keilmuan yang berorientasi pada upaya promotif dan preventif  adalah para sarjana kesehatan masyarakat (SKM). Namun Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) sebagai salah satu sumber daya kesehatan masih di terjemahkan secara dangkal tentang Kompetensinya. (Andi Asri, 2010;3)
Bahkan Negara sendiri belum mengakui secara hokum hadirnya Sarjana Kesehatan Masyarakat sebagai tenaga kesehatan. Sebagai mana termaktub dalam undang kesehatan no 36 tahun 2009 pasal 1 ayat 6, Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Namun penjelasan lebih lanjut dalam Bab V sumber daya bidang kesehatan bagian pertama mengenai tenaga kesehatan pasal 23 ayat tenaga kesehatan berwenang menyelenggarakan pelayanan. Dan dalam penyelenggaraan bidang kesehatan harus memiliki standar kode etik dan standar profesi. Jika berpijak pada pasal 1 ayat  6 maka Sarjana Kesehatan Masyarakat itu masih di pandang sebagai tenaga kesehatan. Tetapi jika kita berpijak kepada kepada pasal 24 bahwa tenaga kesehatan menyelenggarakan upaya kesehatan jika memiliki standar profesi dan standar kode etik. Nah apakah kesmas itu tidak mempunyai hak menyelenggarakan upaya kesehatan.
Belum lagi dalam rangcangan undang-undang tenaga kesehatan yang penuh dengan ketimpangan dan ketidakjelasan mengenai tenaga kesehatan kesehatan masyarakat. Dimana dalam pasal 10 ayat bagian d mengenai tenaga kesehatan masyarakat mengalami ketidakjelasan mengenai tenaga kesehatan masyarakat. Pertanyaan paling mendasar adalah siapa itu tenaga kesehatan masyarakat? Apakah orang para sarjana kesehatan masyarakat? Atau magister kesehatan kesehatan masyarakat walaupun tidak pernah mengikuti prosesi jenjang sarjana kesehatan masyarakat. Karena sebagaimana dalam naskah akademik pendidikan kesehatan masyarakat yang disusun oleh Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) bersama dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) tentang penjelasan Magister Kesehatan Masyarakat. Bahwa  Magister kesehatan masyarakat: adalah lulusan S1 kesehatan masyarakat atau S1 lain yang telah melalui tahapan penyetaraan dan mendapatkan pendidikan magister kesehatan masyarakat dan dibekali dengan kemampuan penelitian. Luaran pendidikan jalur akademik kesehatan masyarakat ini terdiri dari tujuh konsentrasi terkait dengan rumpun ilmu kesehatan masyarakat. Ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar S1 lain itu siapa sebenarnya? dan itu sangat tumpang tindih dengan jalur akdemik dalam naskah akademik kesehatan masyarakat. Dalam tingkatan kompetensi yang terdiri dari empat jenjang dengan  delapan kompetensi. Jenjang pertama yaitu Sarjana kesehatan masyarakat yang terdiri dari tiga bintang,jenjang kedua Profesi yang terdiri dari empat bintang, jenjang ketiga Magister yang terdiri 5 bintang dan yang ke empat yaitu Doktoral yang terdiri dari 6 bintang. Sebagaimana penjelasan tadi tentang Magister Kesehatan Masyarakat adalah lulusan S1 Kesehatan Masyarakat atau S1 lain. Jika kemudian Magister Kesehatan Masyarakat itu S1 lain, apakah dia pantas untuk mendapatkan bintang 5 pada hal belum melewati bintang 3 dan 4. Kalau kita melihat dalam kacamata filsofi matematika itu sangat mustahil terjadi. dan ini merupakan sebuah penghianatan besar dalam ilmu pengetahuan karena mencederai ilmu pengetahuan yang sesungguh itu tidak terjadi jika kemudian kita sejalan dengan idenya kesmas. 
Melihat dari kesejarahan Kesehatan Masyarakat di Indonesia yang bermuara pada Fkm UI. Yang berdiri tahun 1965 (khusus konversi D3 kesehatan) disebut SKM-2 dan tahun 1989 buka program SKM -4. Telah melahirkan sarjana kesehatan masyarakat belum lagi kampus-kampus lain baik negeri maupun swasta. Tentunya sudah memiliki para Alumni yang berkompeten dan  sampai hari kesehatan masyarakat belum memiliki standar profesi dan standar kode etik. Pertanyaan yang paling medasar adalah ada apa sebenarnya sehingga sejauh ini belum ada  standar profesi dank ode etik kesmas? Apakah kesehatan masyarakat itu terlalu banyak kepentingan di dalamnya? Atauk kesehatan masyarakat itu lahan basah bagi semua unsur sehingga semua unsure ingin menggarapnya. Padahal sudah jelas apa yang menjadi tupoksi masing-masing profesi bahwa basis bagi kesehatan masyarakat adalah upaya promotif, preventif dan bersifat komunal, kolektif.
Kempetensi tenaga kesehatan masyarakat yang dicita-citakan perguruan tinggi itu begitu berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan terjadi sebuah jurang outcame dengan kompetnsi di dunia kerja. SKM dengan kompotensi yang ia miliki dan disiplin ilmu yaitu sebagai seorang promotif dan prevenstif yang bersifat komunal dan kolektivitas. Kareana dia bersifat komunal dan kolektif tentunya wilayah kerjanya seorang SKM adalah bukan untuk menunggu masalah di puskesmas tetapi dia mencari masalah di masyarakat kemudian menyeleasaikan masalah kesehatan  yang ada di masyarakat bersama masyarakat.
Menurut Andi Asri (2010;6) bahwa SKM dipolakan pada wilayah kerja sebagai “agen masyarakat di bidang kesehatan” yang di tugaskan di puskesmas. Kompetensi SKM sebagai agen Masyarakat akan memberikan pola pelayanan tugas professional berdasarkan analsis kemampuan barada pada tataran pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. Kompetensi SKM bukan mununggu masyarakat di Puskesmas sebagaimana yang terjadi saat ini hanya berada dikantor, tetapi kompetensi SKM sebagai partnership Masyarakat sehingga tidak dituntut untuk datang tiap hari ke puskesmas, kantor Puskesmas hanya sebagai sebatas koordinasi Nakes dan kompotensinya sebagai SDM puskesmas adalah Masyarakat.
SKM sebagai agen masyarakat dalam bidang kesehatan dia seharusnya juga sebagai control masyarakat dalam bidang kesehatan. Dia harus mengontrol masalah kesehatan yang terjadi dan penuntasan masalah kesehatan. Sehingga apa yang kemudian kita ingin bersama yaitu peningkatan derajat kesehatan di Indonesia itu bisa dicapai. Namun apakah semua pihak menginginkan pola kompetensi SKM seperti itu?