Kesehatan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, atau boleh dikatakan
bahwa kesehatan adalah modal kesejahteraan manusia. Untuk mencapai manusia yang
sehat tentunya upaya yang harus kita lakukan adalah dengan melakukan apaya
promotif dan preventif, tetapi tidak mengesampingkan juga yang namanya kuratif
dan rehabilitatif. Modal terpenting yang harus dimiliki adalah dengan melakukan
upaya promotif dan preventif. Dan sosok yang disiplin keilmuan yang berorientasi
pada upaya promotif dan preventif adalah
para sarjana kesehatan masyarakat (SKM). Namun Sarjana Kesehatan Masyarakat
(SKM) sebagai salah satu sumber daya kesehatan masih di terjemahkan secara
dangkal tentang Kompetensinya. (Andi Asri, 2010;3)
Bahkan
Negara sendiri belum mengakui secara hokum hadirnya Sarjana Kesehatan
Masyarakat sebagai tenaga kesehatan. Sebagai mana termaktub dalam undang
kesehatan no 36 tahun 2009 pasal 1 ayat 6, Tenaga kesehatan adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Namun
penjelasan lebih lanjut dalam Bab V sumber daya bidang kesehatan bagian pertama
mengenai tenaga kesehatan pasal 23 ayat tenaga kesehatan berwenang
menyelenggarakan pelayanan. Dan dalam penyelenggaraan bidang kesehatan harus
memiliki standar kode etik dan standar profesi. Jika berpijak pada pasal 1 ayat 6 maka Sarjana Kesehatan Masyarakat itu masih
di pandang sebagai tenaga kesehatan. Tetapi jika kita berpijak kepada kepada
pasal 24 bahwa tenaga kesehatan menyelenggarakan upaya kesehatan jika memiliki
standar profesi dan standar kode etik. Nah apakah kesmas itu tidak mempunyai hak
menyelenggarakan upaya kesehatan.
Belum
lagi dalam rangcangan undang-undang tenaga kesehatan yang penuh dengan
ketimpangan dan ketidakjelasan mengenai tenaga kesehatan kesehatan masyarakat.
Dimana dalam pasal 10 ayat bagian d mengenai tenaga kesehatan masyarakat
mengalami ketidakjelasan mengenai tenaga kesehatan masyarakat. Pertanyaan
paling mendasar adalah siapa itu tenaga kesehatan masyarakat? Apakah orang para
sarjana kesehatan masyarakat? Atau magister kesehatan kesehatan masyarakat
walaupun tidak pernah mengikuti prosesi jenjang sarjana kesehatan masyarakat.
Karena sebagaimana dalam naskah akademik pendidikan kesehatan masyarakat yang
disusun oleh Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) bersama dengan Asosiasi
Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) tentang penjelasan Magister
Kesehatan Masyarakat. Bahwa Magister kesehatan masyarakat: adalah lulusan S1 kesehatan masyarakat atau S1 lain
yang telah melalui tahapan penyetaraan dan mendapatkan pendidikan magister
kesehatan masyarakat dan dibekali dengan kemampuan penelitian. Luaran
pendidikan jalur akademik kesehatan masyarakat ini terdiri dari tujuh
konsentrasi terkait dengan rumpun ilmu kesehatan masyarakat. Ini menimbulkan
sebuah pertanyaan besar S1 lain itu siapa sebenarnya? dan itu sangat tumpang
tindih dengan jalur akdemik dalam naskah akademik kesehatan masyarakat. Dalam
tingkatan kompetensi yang terdiri dari empat jenjang dengan delapan kompetensi. Jenjang pertama yaitu
Sarjana kesehatan masyarakat yang terdiri dari tiga bintang,jenjang kedua
Profesi yang terdiri dari empat bintang, jenjang ketiga Magister yang terdiri 5
bintang dan yang ke empat yaitu Doktoral yang terdiri dari 6 bintang.
Sebagaimana penjelasan tadi tentang Magister Kesehatan Masyarakat adalah
lulusan S1 Kesehatan Masyarakat atau S1 lain. Jika kemudian Magister Kesehatan
Masyarakat itu S1 lain, apakah dia pantas untuk mendapatkan bintang 5 pada hal
belum melewati bintang 3 dan 4. Kalau kita melihat dalam kacamata filsofi
matematika itu sangat mustahil terjadi. dan ini merupakan sebuah penghianatan
besar dalam ilmu pengetahuan karena mencederai ilmu pengetahuan yang sesungguh
itu tidak terjadi jika kemudian kita sejalan dengan idenya kesmas.
Melihat
dari kesejarahan Kesehatan Masyarakat di Indonesia yang bermuara pada Fkm UI.
Yang berdiri tahun 1965 (khusus konversi D3 kesehatan) disebut SKM-2 dan tahun
1989 buka program SKM -4. Telah melahirkan sarjana kesehatan masyarakat belum
lagi kampus-kampus lain baik negeri maupun swasta. Tentunya sudah memiliki para
Alumni yang berkompeten dan sampai hari
kesehatan masyarakat belum memiliki standar profesi dan standar kode etik.
Pertanyaan yang paling medasar adalah ada apa sebenarnya sehingga sejauh ini
belum ada standar profesi dank ode etik
kesmas? Apakah kesehatan masyarakat itu terlalu banyak kepentingan di dalamnya?
Atauk kesehatan masyarakat itu lahan basah bagi semua unsur sehingga semua
unsure ingin menggarapnya. Padahal sudah jelas apa yang menjadi tupoksi
masing-masing profesi bahwa basis bagi kesehatan masyarakat adalah upaya
promotif, preventif dan bersifat komunal, kolektif.
Kempetensi tenaga kesehatan masyarakat yang
dicita-citakan perguruan tinggi itu begitu berbeda dengan apa yang terjadi di
lapangan terjadi sebuah jurang outcame dengan kompetnsi di dunia kerja. SKM
dengan kompotensi yang ia miliki dan disiplin ilmu yaitu sebagai seorang
promotif dan prevenstif yang bersifat komunal dan kolektivitas. Kareana dia
bersifat komunal dan kolektif tentunya wilayah kerjanya seorang SKM adalah
bukan untuk menunggu masalah di puskesmas tetapi dia mencari masalah di
masyarakat kemudian menyeleasaikan masalah kesehatan yang ada di masyarakat bersama masyarakat.
Menurut Andi Asri (2010;6) bahwa SKM dipolakan pada
wilayah kerja sebagai “agen masyarakat di bidang kesehatan” yang di tugaskan di
puskesmas. Kompetensi SKM sebagai agen Masyarakat akan memberikan pola
pelayanan tugas professional berdasarkan analsis kemampuan barada pada tataran
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. Kompetensi SKM
bukan mununggu masyarakat di Puskesmas sebagaimana yang terjadi saat ini hanya
berada dikantor, tetapi kompetensi SKM sebagai partnership Masyarakat sehingga tidak dituntut untuk datang tiap
hari ke puskesmas, kantor Puskesmas hanya sebagai sebatas koordinasi Nakes dan
kompotensinya sebagai SDM puskesmas adalah Masyarakat.
SKM sebagai agen masyarakat dalam bidang kesehatan
dia seharusnya juga sebagai control masyarakat dalam bidang kesehatan. Dia
harus mengontrol masalah kesehatan yang terjadi dan penuntasan masalah
kesehatan. Sehingga apa yang kemudian kita ingin bersama yaitu peningkatan
derajat kesehatan di Indonesia itu bisa dicapai. Namun apakah semua pihak
menginginkan pola kompetensi SKM seperti itu?